Eksekutif VS Legislatif

 Bicara soal legislatif dan eksekutif tentu tidak bisa kita lepaskan dari konsep-konsep pemisahan kekuasaan yang berkembang di dunia ini. Para ahli sepakat bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip konstitusionalisme yang melindungi hak-hak rakyat.


Konsep pemisahan kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan para raja yang bersifat absolut di Eropa. Montesquieu menggambarkan konsep pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang berlaku di Inggris meliputi kekuasaan Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan Majelis (yudikatif).
Montesquieu menilai kekuasaan raja sangat tumpang tindih dan dapat melakukan kewenangan apapun. Sehingga konsep pemisahan kekuasaan menurut hematnya harus dilaksanakan secara tegas, kaku, dan mutlak. Pandangan ini sesungguhnya bukan untuk membatasi kekuasaan secara mutlak melainkan mencegah adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan.

Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.

Istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politika sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun yudikatif. 

Selain konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu diatas dunia juga mengenal konsep trias politika yang dikemukakan oleh John Locke dan catur praja oleh Van Vollenhoven. John Locke membagi kekuasaan menjadi tiga (eksekutif, legislatif, dan federatif) konsep ini merupakan pendahulu dari konsep trias politika yang kemudian disempurnakan oleh Montesquieu. Sedangkan Van Vollenhoven membagi kekuasaan menjadi empat bidang “catur praja” (Regeling (fungsi legislatif), Bestuur (fungsi eksekutif), Rechtspraak (fungsi judikatif), dan Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara). Diantara konsep-konsep yang telah disebutkan diatas kita akan fokus membahas lebih jauh tentang trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu karena merupakan konsep pemisahan kekusaan yang paling banyak diterapkan di dunia ini dan merupakan konsep pemisahan kekuasaan yang diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sama sama kita cintai.

Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.

Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.”

  • Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
  • Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
  • Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politika karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.

Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).

Lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan, dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada.

Menurut teori yang dikemukakan diatas segalanya terlihat begitu rapi dan tersruktur namun jika kita lihat penerapannya secara kasat mata, pembagian kekuasaan yang dijalankan di Indonesia terkesan belum berjalan dengan baik. Mengapa saya dapat berbicara seperti itu, kesan yang saya tangkap selama ini, DPR sebagai badan legislatif tertinggi di Indonesia belum menjalankan fungsinya dengan baik. Sangat terlihat sekali, bahwa mereka tidak aspiratif dan tidak dapat melihat suatu permasalahan yang dihadapi negara ini dengan obyektif. Mereka cenderung membela kepentingan diri mereka sendiri atau golongan mereka. Sebagai contoh adalah wacana pembangunan gedung DPR yang baru baru ini hangat diperbincangkan di masyarakat. Apakah Proyek ini penting? Dan apakah proyek ini mendesak? Mengenai dua pertanyaan di atas masih bisa diperdebatkan memang, namun menurut sudut pandang saya. Apakah gedung megah itu harus dibangun ketika masih banyak perut rakyat jelata kosong, Apakah  gedung megah itu harus dibangun ketika ribuan, bahkan jutaan anak bangsa memutuskan untuk tidak bersekolah karena alasan mahalnya biaya, dan apakah gedung megah itu harus dibangun ketika masih banyak rakyat jelata dengan badan yang kurus tidur di kolong jembatan karena tidak mempunyai tempat untuk berteduh. Jawaban saya tentu tidak! Perut rakyat, pendidikan anak bangsa, dan nasib para tuna wisma jelas lebih penting. Karena menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke empat dijelaskan tujuan terbentuknya negara ini diantaranya untuk mensejahterakan rakyat dan untuk mecerdaskan kehidupan bangsa.

Tak hanya pada bidang legislatif, pada bidang eksekutif juga saya nilai masih banyak yang harus diperbaiki. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini saya nilai sangat frakmatis. Pemerintah membiarkan urusan dalam negeri kita dicampuri terlalu banyak oleh bangsa asing. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia seakan akan mejadi budak di negeri kita sendiri. Sebagai contoh kebijakan kita dibidang ketahanan pangan, kita lebih suka mengimpor bahan pangan ketika kita kekurang tanpa melihat lebih jauh mengapa kita kekurangan dan bagaimana caranya agar kedepan hal tersebut tidak terulang kembali. Selain itu pada kebijakan ketahanan energi, menurut saya pemerintah tidak berani untuk mengembangkan energi nuklir lebih jauh. Sesungguhnya kita telah memiliki beberapa rektor generasi dua di Sepong, Bandung, dan Yogyakarta. Namun proyek itu seakan akan terkubur, oleh isu-isu yang menurut saya tidak masuk akal. Diantaranya, isu bahwa nuklir itu berbahaya. Padahal jika kita tinjau lebih jauh, reaktor nuklir yang saat ini dikembangkan (generasi ke 6) merupakan  reaktor yang sangat aman. Dan apakah kita mampu? Jawaban saya, ini bukan maslah mampu atau tidak mampu. Ini adalah masalah mau atau tidak mau.

Masalah-masalah yang saya coba paparkan diatas hanya sejumput masalah di negara ini yang semakin lama semakin parah karena kebijakan kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Hal ini saya tengarai akibat dari sistem yang ada di negara ini. Untuk menjadi seorang pemimpin di Indonesia, dibutuhkan uang yang tidak sedikit. Sehingga tak heran jika politik dagang sapi secara kasat mata terlihat kental mewarnai perpolitikan di Indonesia ini. Jika kita melihat mana yang lebih baik apakah DPR sebagai badan legislatif atau pemerintah sebagai badan eksekutif yang lebih baik. Saya menilai sama bobroknya sama buruknya.

Kita sebagai mahasiswa memiliki peran dan fungsi diantaranya sebagai “iron stock” yaitu sebagai regenerasi yang menggantikan para pemimpin-pemimpin yang saat ini menjabat. Oleh karena itu kita melatih diri kita untuk berorganisasi di kampus, agar kita terbiasa untuk bekerjasama dalam suatu unit kesatuan. BEM di kampus sebagai badan eksekutif harus rela mendapat kritikan dari DPM sebagai badan legislatif yang tentunya kritikan tersebut haru bersifat konstruktif bukan bersifat destruktif. Mari kita bangun demokrasi kita dari kampus kita.

By: Miranti Madani

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Legislator IMAKA

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger