Narasiku Mengenai Negara IMAKA

Sebuah gambaran yang ada di kampus AKA, student government dijadikan sebagai kekuatan untuk mendorong kinerja yang ada di kampus, dimana gerakan mahasiswa di packaging dalam bentuk kelembagaan. Pemerintahan di IMAKA sendiri bisa diidentikkan sebagai suatu Negara kecil. Meski pada kenyataannya pengaplikasiannya tidak begitu sempurna mengacu pada sistem student government.

Ketika kita belajar istilah demokrasi, secara sederhana adalah pola pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sama halnya ketika kita berbicara demokrasi dalam lingkup kampus, dimana pemimpin berasal dari mahasiswa, dipilih oleh mahasiswa dan dilaksanakan oleh mahasiswa serta segala kebijakan harus berpihak pada mahasiswa.

Dalam konsep demokrasi juga dikenal istilah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif sebagai syarat menuju demokrasi yang sejati. Didalam demokrasi IMAKA sendiri hanya terdapat dua badan organisasi yang berbeda secara tugas dan fungsi, yaitu badan Eksekutif (BEM) dan badan Legislatif (DPM). Dua badan ini dirasa sudah cukup untuk menciptakan demokrasi sejati, karena sudah dianggap cukup untuk mengotrol dan mengawasi segala tindakan yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi mahasiswa (Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa). 

Pada kenyataannya IMAKA memiliki kekuasaan yudikatif yang dipegang oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa, hal ini juga telah dijelaskan dalam AD/ART secara tersirat. berdasarkan system pemerintahan yang dianut oleh IMAKA yakni system presidensiil (tidak secara absolute), hal ini diperbolehkan. Sebab mengingat system pemerintahan di IMAKA ini sendiri masih jauh dari bentuk-bentuk pemerintahan yang ada, bahkan di kampus kita yang memiliki penguasaan atas hukum hampir tidak ada, oleh karena itu, kekuasaan yudikatif dapat dipegang oleh DPM yang juga berfungsi sebagai badan legislatif.

Bentuk implementasi kelembagaan yudikatif ini adalah penunjukan yang dilakukan oleh lembaga legislatif untuk mereka yang duduk sebagai kelembagaan yudikatif (Hokky 2001). Sebagai contoh, penunjukkan badan pekerja serta presidium dalam RUA yang dilakukan oleh DPM.

Selain itu, menurut Rod Hague, pola pemerintahan terdiri dari 3 unsur yaitu:
• Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
• Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
• Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
(dapat dilihat juga di http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial).

Tidak jauh beda dengan apa yang telah diterapkan dalam IMAKA, bukan? Jadi sudah sewajarnya DPM memiliki kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga lainnya. Pendapat yang teramat salah kalau berpendapat bahwasannya dua organisasi ini selalu berjalan beriringan dimanapun itu, baik di pemerintahan negara kita yang tercinta maupun dalam organisasi yang ada di kampus kita. Karena memang dua organisasi ini sangat berbeda sekali baik dari sistem kerja maupun tanggung jawab yang diemban. Dan terkadang hal inilah yang memicu timbulnya perselisihan antara pembuat sistem dan yang menjalankan sistem. Bukan hal baru lagi ketika kita mengetahui bahwa legislatif malah menjadi suatu hal yang tidak diinginkan oleh eksekutif, seolah-olah menganggap adanya ketidak adilan, sebab eksekutif yang bergerak dan terjun langsung dan bekerja keras menjalankan tugas mereka. 

Namun, paling sering mendapatkan teguran oleh legislatif. Tentumya hal ini akan menimbulkan anggapan bahwasannya DPM hanya bisa mengkritisi tanpa bergerak—merupakan salah satu penyebab ketidak sinergisan antar kelembagaan dalam kampus. Oleh karena itu perlu adanya revolusi dari anggota dewannya sendiri. Secara structural serta fungsionalnya, DPM ini sudah dapat memenuhi fungsi kelembagaanya hanya saja kurang sesuai dalam pengaplikasiannya. Jika seluruh anggotanya memiliki komitmen untuk melaksanakan apa yang dibuatnya ini. Untuk itu perlu adanya  standarisasi yang dipatenkan dalam badan legislatif ini. Sehingga perilaku anggota dewannya mengikuti aturan dan prosedur yang telah ditentukan. Sebab kapabilitas dalam diri kita akan menunjukkan seberapa besar kontribusi kita pada badan legislatif ini. Standarisasi ini akan membentuk skill serta kapabilitas dalam diri anggota dewannya, yang nantinya akan mampu mendongkrak paradigma badan ekskutif bahwasannya kita tidak seperti anggota dewan yang duduk di singgasana kepemerintahna negara.

Lepas dari kualitas SDM dari anggota dewan, perlu juga adanya Spesialisasi kerja, memang sudah ada pembagian kerja, hanya saja kurang terfokus. Misalnya saja dalam komisi 3 sebagai komisi yang fokusnya di bidang kelembagaan, namun jika menilik dari fungsiserta tugas-tugas komisi kelembagaan ini, menunjukkan seolah-olah fungsi yudikatif serta legislatif berpusat di komisi 3. Bagaimana tidak, selain mengurusi kelembagaan di IMAKA, komisi ini juga bertugas dalam pembentukan dan pengawasan BP—fungsi yudikatif khususnya dalam pebentukan BP konstitusi, mungkin perlu ada pemisahan dari kedua fungsi ini. Misalnya ada komisi yang benar-benar mengurusi tentang legislasi. Lembaga ini juga membutuhkan pembatasan anggota dewan per komisi. Agar terkontrolnya garis komando antara ketua komisi dengan anggotanya. Sehingga dapat menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien. Selain itu per komisi seharusnya memiliki visi terutama dalam pembuatan UU. Dengan adanya visi per komisi akan membuat suatu goal per tahunnya. 

Lepas dari itu semua, penentu perkembangan serta kejayaan AKA adalah kita. Karena kita adalah arsitek perubahan, kita adalah pengubah dunia. Jangan biarkan diri kita terbawa arus sistem. Kita memiliki otak yang harus digunakan untuk berpikir, sehingga sistemlah yang menentukan hidup kita, tapi kita harus melawan arus dan kendalikan sistem dengan kedua tangan kita agar bisa membantu menentukan tujuan hidup kita. Dengan begitu kita akan menjadi mahasiswa yang memiliki integritas tinggi. Soe Hok Gie pernah menulis dalam catatannya “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.”. Kita adalah kaum intelektual yang menjadi ujung tombak terjadinya perubahan bagi negara untuk mengupas jati dirinya, perjuangan di IMAKA merupakan bagian dari perjuangan bangsa kita.

Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik,
Tetapi tanpa perubahan, tak ada pembaharuan
Dan Tak kan ada KEMAJUAN!
-Rhenald Kasali-

By: Maria Arisanti

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Legislator IMAKA

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger